SOEKARNO, laki-laki proklamator RI ini kini
menjadi
banyak idola kawula muda. Buku-buku banyak ditulis memuji-muji kehebatan
dia. Mulai dari masa kecilnya, remaja dan dewasanya. Dibukukan
tulisan-tulisannya dan divideokan pidato-pidatonya. Film-film pun dibuat
untuk mempropagandakan kepribadian dan kehebatannya. Benarkah Soekarno
manusia yang hebat tidak ada cacat atau justru banyak cacatnya? Tulisan
ringkas ini akan mencoba menelaahnya.
Bila ditelusuri Soekarno ternyata pintar bicara tapi ‘miskin’ dalam
perbuatan. Pidatonya yang berapi-api memang membakar semangat rakyat.
Tapi sikap-sikapnya terutama dalam politik seringkali menjadi blunder,
bahkan kepada dirinya. Egonya yang terlalu berlebihan, menjadikan banyak
temannya menjadi korban. Nafsunya kepada perempuan seringkali tidak
terkendalikan.
Entah berapa orang yang menjadi istri atau pasangannya. Ideologi
Islam yang semasa remaja ditanam Tjokroaminoto di Surabaya, seolah
‘hilang lenyap’ tergantikan dengan ideologi Marxisme atau Marhaenisme
yang dipahat oleh dosen-dosen Belanda di ITB Bandung.
Kita coba telisik Soekarno mulai dari kasus Piagam Jakarta. Piagam
Jakarta yang sudah ditandatangani oleh Soekarno sendiri pada 22 Juni
1945, disepakati akan dibacakan pada proklamasi republik Indonesia,
diganti dengan coret-coretan Soekarno. Hal itu terjadi pada subuh hari
17 Agustus 1945, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maida untuk
mendiskusikan lagi naskah proklamasi yang sudah disepakati Tim Sembilan.
Di rumah itu, selain ada petinggi Jepang juga ada Ahmad Subarjo
(Nasionalis Sekuler) sekretaris Laksamana Maida. Dan akhirnya dalam
sejarah tercatat Soekarno membacakan proklamasi dengan
coretan-coretannya sendiri pada sekitar pukul 10.00, 17 Agustus 1945.
Tidak ada dalam perundingan dalam rumah Maida itu tokoh nasionalis
Islam.
Lebih tragis lagi pada 18 Agustus 1945. Soekarno lewat rapat kilat
tidak sampai tiga jam mengganti hal-hal penting yang berkaitan dengan
Islam dalam urusan politik. Yakni mengganti hal-hal penting dalam UUD
45. Lewat rapat yang dipimpinnya Soekarno mengganti kata Mukaddimah
menjadi pembukaan, kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan kata
presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam kata “dan
beragama Islam dicoret.
Karena tragedi itu, maka setelah Pemilu 1955, tokoh-tokoh Islam bersatu menuntut pengembalian Piagam Jakarta atau
Islam sebagai dasar negara. Karena kemerdekaan Indonesia diperoleh
dengan darah dan keringat mayoritas rakyat yang beragama Islam. Maka
diadakanlah penyusunan UUD kembali oleh Majelis Konstituante 1957-1959.
Setelah bersidang lebih dari dua tahun, hasilnya mentok. Faksi
Nasionalis Islam dengan faksi nasionalis sekuler tidak ada yang menang
mutlak.
Soekarno akhirnya membubarkan Majelis Konstituante dengan didukung
TNI, dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Yang menarik
Soekarno saat itu menerima usulan dari tokoh-tokoh Islam, untuk
menampung aspirasi dari nasionalis sekuler dan nasionalis Islam, maka
dirumuskanlah salah satu isi dekrit itu adalah : Piagam Jakarta menjiwai
UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan.
Sayangnya meski bunyi dekrit seperti itu, Soekarno tidak
menerjemahkannya dalam undang-undang atau peraturan presiden.
Masa Soekarno atau Orde Lama
Bila banyak yang mencela Orde Baru, maka Orde Lama bagi umat Islam
terutama tokoh-tokohnya terasa ‘lebih sengsara’. Buya Hamka, ulama
besar ini menyampaikan isi hatinya dalam Majalah Panjimas yang
diasuhnya. Setelah mengritik mantan Menteri Subandrio –di sidang
Mahmilub- yang hingga tuanya tidak mengenal rakaat shalat dan Yusuf Muda
Dalam yang tidak mengerti bahwa beristri lebih dari empat dilarang
dalam Islam, HAMKA menyatakan:
Sebelumnya Roem menyatakan bahwa Soekarno adalah bagaikan buku terbuka. Kata tokoh Masyumi ini :
Mengenai hidup dalam “kemiskinan” ini sangat lengkap…Begitu lengkapnya cerita itu, sehingga orang yang tahu keadaan di Indonesia terutama di Pulau Jawa pada waktu itu, dengan angka-angka Soekarno sendiri melihat, bahwa keluarga Raden Sukemi Sosrodihardjo tidak miskin sama sekali.
Dilihat dalam rangka “Gobang Report”, dalam mana orang Indonesia rata-rata hidup dari dua setengah sen setiap hari, maka tiap anggota dari keluarga Raden Sukemi Sosrodihardjo yang terdiri dari empat orang, hidup dari 250 gobang sebulan atau lebih dari 8 gobang sehari.”
Maka, kata Roem: “ Tidak masuk akal, seperti yang ia (Soekarno –pen) ceritakan “Kami sangat melarat sehingga hampir tidak dapat makan satu kali dalam sehari.” (Mohammad Roem, hal. 170).
Kritik keras Roem yang lain adalah sikap Soekarno yang merangkul PKI untuk menyingkirkan Masyumi. Syafii Maarif mengutip Roem, dalam bukunya “Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965” menyatakan logika revolusi Soekarno ialah menarik garis yang tegas antara sahabat dan musuh revolusi. Kata Syafii : “Pada masa demokrasi terpimpin, jargon politik PKI tentang golongan “Kepala Batu” sudah menyatu dengan jargon politik Soekarno yang juga menilai Masyumi sebagai kekuatan “Kepala Batu” yang merintangi penyelesaian revolusi Indonesia.” Demokrasi Terpimpin ini mulai mengkristal ketika Soekarno pada 20 Maret 1960 membubarkan parlemen hasil pemilihan umum 1955 dan membentuk DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) dimana Masyumi dan PSI tidak diikutsertakan.
Walhasil, sebelum merdeka memang Soekarno adalah seorang pemuda yang mempunyai ide besar dan semangat tinggi melawan penjajah Belanda. Ia pernah dipenjara dan diasingkan pemerintah Belanda saat itu. Tapi pemikirannya sayang setelah dewasa lebih banyak diwarnai Marxisme (sekuler) daripada Islam. Sehingga tahun 1930-an ia berdebat keras di media massa dengan pemuda Natsir tentang bagaimana bentuk negara ke depan. Soekarno menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler sebagaimana yang dibentuk Kemal Attaturk. Natsir menginginkan negara yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam, sebagaimana yang diteladankan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Soekarno akhirnya menjadi presiden dengan menerapkan ide-ide sekuler yang diyakininya dan kemudian di periode akhir pemerintahannya menyingkirkan kelompok Natsir Masyumi yang dianggap mengganggu jalan revolusinya.
Natsir memang pernah ikut dalam pemerintahan Soekarno, sebagai Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, karena Natsir ingin membaktikan hidupnya memperbaiki atau mengislamkan negeri ini. Tapi ia kemudian berlepas diri dari pemerintahan karena partainya ‘dibubarkan dengan paksa’ oleh presiden pada tahun 1960.
Kini pertarungan ide negara sekuler dan ide negara Islami terus berlangsung di negeri ini. Sebagaimana ide menggulirkan tokoh-tokoh idola. Siapakah yang akan menang? Wallahu alimun hakim.*
Tin Satya Army